Rabu, 21 September 2011

Tujuan Hidup Manusia

(https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmjA32jwUchKBwN6sBwgPRrgOs8PMyy0tJ8wtMHzMj3owEMOEDT5ZCPPvp24231hotY4KUsluEXTFuSWub17KU8ZdmtJl0KmIlRG4AL9lGs0HqcIFWH9Hzw941Nf0LnBCpXYnLD4wQGDr5/s1600/jalan-lurus-copy.jpg)
Jarang orang merumuskan tujuan hidupnya. Merumuskan apa yang dicari dalam hidupnya, apakah hidup­nya untuk makan atau makan untuk hidup. Banyak orang sekedar menjalani hidupnya, mengikuti arus kehidupan, terkadang berani melawan arus, dan menyesuaikan diri, tetapi apa yang dicari dalam melawan arus, menyesuaikan diri dengan arus atau dalam pasrah total kepada arus, tidak pernah dirumuskan secara serius. Ada orang yang sepanjang hidupnya bekerja keras mengumpulkan uang, tetapi untuk apa uang itu dan mau dibuat apa… baru dipikirkan setelah uang terkumpul, bukan dirumuskan ketika memutuskan untuk mengumpulkannya. Ada yang ketika mengeluarkan uang tidak sempat merumuskan tujuannya, sehingga hartanya terhambur-hambur tanpa arti. Ini adalah model orang yang hidup tidak punya konsep hidup.
Makna tentang tujuan hidup sampai kapan pun masih tetap penting untuk direnungkan. Bagaimanapun seorang Muslim mesti sadar bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara tidak kekal bahkan terlalu amat singkat. Kita cuma diberikan kesempatan yang sangat sebentar, bagaikan seorang musafir yang berhenti di sebuah oase, setelah istirahat sebentar dia mempersiapkan perbekalan lalu melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir…alam keabadian.
Rumusan tujuan hidup yang didasari pada nilai ajaran agama menempati posisi sentral, yakni orang yang hormat dan tunduk kepada nilai-nilai agama yang diyakininya, melalui pemahaman yang benar dan matang terhadap ajaran agama.
Menurut ajaran Islam, tujuan hidup manusia ialah untuk menggapai ridha Allah.
Allah berfirman,
“Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (Al-Baqarah [2]: ayat 207)
Ridha artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan hidup seorang Muslim, berujung kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridhai Allah SWT atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridha-Nya, maka apapun yang diberikan Allah kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridha (senang) pula.
Kita bisa mengetahui sesuatu itu diridhai atau tidak oleh Allah. Tolok ukur pertama adalah syariat atau aturan yang ditetapkan dalam agama kita, sesuatu yang diharamkan atau dilarang oleh Allah pasti tidak diridhai dan bila kita melakukannya atau melanggarnya kita akan mendapat dosa; dan sesuatu yang halal atau diperintahkan agama pasti diridhai yang apabila kita mengerjakannya kita akan mendapat pahala. Selanjutnya nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya memberi kepada orang yang meminta-minta dijalanan karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridhai-Nya; tidak memberi tidak berdosa tetapi kurang disukai oleh Allah SWT.
Indikator ridha Allah juga dapat dilihat dari dimensi horizontal.
Nabi bersabda,
“Bahwa ridha Allah ada bersama ridha kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua”.
Semangat untuk mencari ridha Allah sudah barang tentu hanya dimiliki orang-orang yang beriman, sedangkan bagi mereka yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya dan prilakunya sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang yang beragama…, karena toh setiap manusia memiliki akal yang bisa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.
Ma’a syiraa Muslimin wal muslimat rahimmakumullah,
Sebaik apapun manusia… selama dia kafir…maka amalan-amalan mereka tidak diterima dan tidak dinilai oleh Allah, sia-sia belaka akibat kekafiran mereka, bagai debu yang berterbangan.
Allah berfirman,
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya (An-Nur[24]: ayat 39)
Metode untuk mengetahui ridla Allah SWT juga diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan cara bertanya kepada hati sendiri. Orang bisa berdusta, berbohong dan mengelabui orang lain, tetapi ia tidak dapat melakukannya kepada hati sendiri. Hanya saja hati orang berbeda-beda. Hati yang gelap, hati yang kosong, dan hati yang mati, sulit dan bahkan tidak bisa ditanya. Hati juga kadang-kadang tidak konsisten, oleh karena itu…pertanyaan yang paling tepat kepada   hati nurani, Nurani berasal arti kata nur, cahaya. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu sambung dengan ridha Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme, dan kemaksiatan.
Menurut ajaran Islam, tugas pokok hidup manusia, sepanjang hidupnya hanya satu tugas, yaitu beribadah kepada Allah, Sang Pencipta. Allah berfirman dalam kitab suci al Qur’an yang berbunyi ” (al_Drariat [51]: ayat 56) yang artinya
“Tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku”.
Menjalankan ibadah bukanlah tujuan hidup, tetapi merupakan tugas yang harus dikerjakan oleh mahluk Allah sepanjang hidupnya. Ibadah mengandung arti untuk menyadari dirinya kecil tak berarti, meyakini kekuasaan Allah Yang Maha Besar, Sang Pencipta, dan disiplin dalam kepatuhan kepada-Nya. Oleh karena itu orang yang menjalankan ibadah mestilah bersikap rendah hati, tidak sombong, menghilangkan egoisme dan Istiqamah untuk terus berupaya agar selalu dalam ridla dan bimbingan-Nya. Itulah etos ibadah. Ibadah ada yang bersifat murni, yakni ibadah yang hanya memiliki satu dimensi, yaitu dimensi vertikal, patuh tunduk kepada Allah Yang Maha Kuasa, seperti shalat dan puasa. Ibadah juga terbagi menjadi dua klasifikasi; ibadah wajib dan ibadah sunnah. Ibadah wajib adalah yang bersifat baku yang ketentuannya langsung dari wahyu atau dari Nabi Muhammad SAW ,yaitu perintah shalat 5 waktu, Puasa, Zakat (zakat fitrah, zakat mal) bagi yang telah memenuhi syaratnya, dan ibadah haji bagi yang mampu.
sedangkan ibadah sunnah adalah semua perbuatan yang baik, dikerjakan dengan niat baik dan dilakukan dengan cara yang baik pula.
Manusia memiliki dua peran utama di dunia ini:
pertama sebagai hamba Allah, dan peran kedua sebagai khalifah (Wakil) Allah di muka bumi. Sebagai hamba Allah manusia adalah kecil dan tidak memiliki kekuasaan, oleh karena itu tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan berpasrah diri kepada-Nya.
kedua, sebagai khalifah di Bumi, manusia diberi fungsi, peran yang sangat besar, karena Allah Yang Maha Besar maka manusia sebagai wakil Allah di muka bumi memiliki tanggungjawab dan otoritas yang sangat besar. Sebagai khalifah manusia diberi tugas untuk mengelola alam semesta ini untuk kesejahteraan manusia Oleh karenanya manusia dituntut beramal shalih, menghindari dosa, menyuruh berbuat baik, melarang berbuat mungkar, jujur dan menghiasi diri dengan sikap yang dianjurkan oleh agama Islam.
Setiap manusia yang lahir di dunia ini sesuai kodratnya tidak ingin hidupnya menderita, baik berupa penderitaan lahir maupun matin. Kita manusia sebagai makhluk Allah SWT diberi kesempatan oleh Allah untuk hidup didunia ini hanya sekali, oleh karena itu didalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini, apa-apa yang kita kerjakan dan usahakan  harus ada manfaatnya bagi orang lain, minimal bermanfaat bagi lingkungan terkecil dalam keluarga, lebih luas lagi bermanfaat bagi masyarakat di sekitar kita dan kalau memungkinkan bermanfaat bagi nusa dan bangsa.
Didalam Islam sudah jelas digambarkan bahwa kehidupan ini tidak hanya di dunia ini saja, tapi ada kehidupan yang jauh lebih penting yaitu kehidupan akhirat yang amat panjang tanpa batas, kehidupan yang hakiki, yang abadi, selamanya. Agar hidup kita penuh makna dan bermanfaat bagi orang banyak, maka kita harus punya “mimpi” yang kuat agar tercapai apa yang kita inginkan dan kita cita-citakan tersebut, yaitu bahagia di dunia dan di akhirat, seperti do’a yang sering kita panjatkan kehadirat Allah SWT:
Dan di antara mereka ada orang yang bendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (Al-Baqarah [2]: ayat 201)
Coba renungkan dalam lingkungan kerja kita sehari-hari, apapun jenis perusahaan dimana kita bekerja…. Masing-masing perusahaan mesti punya visi dalam mendirikan perusahaan tersebut, ada yang punya visi (cita-cita/keinginan):
  • Menjadi Perusahaan yang unggul tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Asia
  • Menjadi Perusahaan yang mempunyai pelanggan terbanyak di Indonesia
  • Menjadi Perusahaan yang meraih untung tertinggi di Indonesia
  • Menjadi perusahaan yang 100% komponennya buatan dalam negeri, dll
Dalam scope terkecil dalam keluarga yang Islami, kita juga harus punya cita-cita / keinginan yang kuat agar kita dan keluarga kita bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Inilah yang benar-benar kita inginkan, kita rindukan, kita impikan dengan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraihnya.
Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim [66]: ayat 6)
Ayat tersebut jelas sekali bahwa Allah SWT menyuruh kepada segenap orang-orang yang beriman agar dijauhkan diri kita dan keluarga kita dari sentuhan api Neraka, yang bahan bakarnya dari manusia  dan batu. Bahan bakar manusia disini adalah manusia-manusia yang kafir, manusia-manusia yang munafik maupun yang musrik. Mereka sudah hanyut dengan tipu daya syaitan-syaitan yang memang pekerjaannya menjerumuskan manusia sebanyak-banyaknya untuk memasuki Neraka yang abadi.
Kita hidup didunia ini sebagai muslim harus jelas apa yang kita impikan, yaitu ingin meraih “Surga” yang abadi. Untuk mencapai Surganya Allah ini tidak gratis, tidak secara kebetulan begitu saja…tapi harus penuh pengabdian, penuh perjuangan, penuh kesabaran sebagai manusia yang “bertaqwa”.
Coba kita urutkan dari belakang, apakah kita sudah memenuhi syarat untuk mendapatkan rahmat Allah SWT sehingga bisa memasuki Surganya Allah SWT?
  • Seseorang yang akan masuk Surga (alam ke-6), maka disaat memasuki alam pengadilan Allah nanti di Padang Mahsyar (alam ke-5), akan menerima catatan amal dengan tangan kanan.
  • Seseorang yang akan menerima catatan dengan tangan kanan tersebut, maka yang bersangkutan akan mendapatkan kebahagiaan selama di alam khubur / alam Barzah (alam ke-4).
  • Seseorang yang akan memperoleh kebahagiaan selama dialam khubur, maka disaat kematiannya, mati dalam keadaan “khusnul khatimah” (kematian yang baik).
  • Seseorang akan memperoleh khusnul khatimah…maka tingkah laku sehari-hari dalam menjalankan hidup ini harus selalu dijalan Allah SWT, yaitu sebagai hamba Allah SWT yang beriman dan beramal shalih.
  • Seseorang yang beriman dan beramal shalih selama hidup di dunia ini (alam ke-3), itulah hamba-hamba Allah yang bertaqwa.
  • Hamba-hamba Allah yang bertaqwa adalah hamba-hamba Allah yang menjalankan Islam secara kaffah (secara menyeluruh), yaitu mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah SWT.
  • Tanda-tanda hamba-hamba Allah SWT yang bertaqwa salah satunya adalah seseorang tersebut “khusuk” dalam setiap mendirikan shalat, baik shalat wajib maupun yang sunah.
  • Salah satu tanda bahwa seseorang itu khusuk dalam shalatnya adalah orang tersebut banyak bersyukur, suka berinfaq dalam keadaan apapun, sabar setiap menghadapi masalah dan bisa menahan amarah.
Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa yang pertama-tama dihisab dihadapan Allah  SWT di alam pengadilan nanti adalah “bagaimana shalat kita”:
  • Jika shalat kita baik ( didirikan dengan khusuk dan tuma’ninah), maka baik pula seluruh amalan kita.
  • Jika shalat kita jelek ( dikerjakan sekedar gugur kewajiban dan tergesa-gesa), maka jelek pula seluru amalan-amalan kita, apalagi bagi mereka yang meninggalkan shalat.
Disimpulkan bahwa barometer baik-tidaknya seseorang dimata Allah SWT adalah bagaimana shalat yang selama ini kita dirikan untuk menghadap-Nya, coba kita introspeksi diri kiita masing-masing… apakah shalat kita khusuk iman atau hanya khusuk munafik? Wallahu alam. Berbekal “khusuk Iman “ inilah yang bisa menghantarkan kita menuju Surganya Allah SWT.
link pustaka:http://www.akhlaqulkharimah.com/2010/07/10/tujuan-hidup-manusia/

Kamis, 15 September 2011

PTK SD LENGKAP.zip - 4shared.com - online file sharing and storage - download - PTK SD LENGKAP.zip

PTK SD LENGKAP.zip - 4shared.com - online file sharing and storage - download - <a href="http://www.4shared.com/file/KM5tekBy/PTK_SD_LENGKAP.html" target="_blank">PTK SD LENGKAP.zip</a>

Senin, 05 September 2011

Bolehkah Mendahulukan Puasa Syawal Ketimbang Qodho' Puasa?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Permasalahan ini selalu menjadi dilema selepas Ramadhan. Apalagi untuk para wanita yang mengalami haidh saat Ramadhan sehingga mesti mengqodho’ puasa. Di bulan Syawal pun kemungkinan ia bisa mendapati haidh kembali. Manakah yang mesti didahulukan dalam hal ini, puasa sunnah ataukah qodho’ (utang) puasa? Lantas bagaimana jika hanya sempat menjalankan puasa Syawal selama empat hari dan tidak sempurna karena mesti mengqodho’ puasa lebih dulu? Simak pembahasan menarik berikut.
Perselisihan Ulama[1]
Para fuqoha berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qodho’ puasa Ramadhan.
Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa Ramadhan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qodho’ puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.
Ibnu ‘Abdin mengatakan, “Seandainya wajib qodho’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa Ramadhan. Qodho’ puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya.”
Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah).
Ad Dasuqi berkata, “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho’ puasa, dan puasa kafaroh.  Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”
Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum mengqodho’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk mengqodho’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qodho’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qodho’ puasa Ramadhan).  Dalil dari mereka adalah hadits Abu Hurairah,
من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه
Barangsiapa yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan,  maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib.” Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[2] Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.
Merujuk pada Dalil
Dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang dho’if sebagaimana diterangkan di atas.
Dalam mengqodho’ puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Ta’ala sendiri memutlakkan qodho’ puasa dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]
Sebagaimana pelajaran dari hadits ‘Aisyah yang di mana beliau baru mengqodho’ puasanya saat di bulan Sya’ban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa lewat dari Ramadhan berikutnya.”[4]
Pendapat Terkuat
Pendapat terkuat dalam masalah ini adalah bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum menunaikan qodho’ puasa selama waktu mengqodho’ puasa masih longgar. Jika waktunya begitu longgar untuk mengqodho’ puasa, maka sah-sah saja melakukan puasa sunnah kala itu. Waktu qodho’ puasa amatlah lapang, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Sebagaimana seseorang boleh saja melakukan shalat sunnah di saat shalat Zhuhur waktunya masih lapang. Dari sini sah saja, jika seseorang masih utang puasa, lantas ia lakukan puasa Senin Kamis.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa selama waktunya masih lapang, pen).  Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqodho’ puasanya di hari lainnya dan tidak disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qodho’ tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa ada kelapangan.”[5]
Masalah Puasa Syawal
Ada yang sedikit berbeda dengan puasa Syawal. Untuk meraih pahala puasa setahun penuh disyaratkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[6]
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mempunyai qodho’ puasa di bulan Ramadhan, lalu ia malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari Syawal, maka ia tidak memperoleh pahala puasa setahun penuh. Karena keutamaan puasa Syawal (mendapat pahala puasa setahun penuh) diperoleh jika seseorang mengerjakan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam kondisi tadi, ia tidak memperoleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.”[7]
Ibnu Rajab rahimahullah kembali menjelaskan, “Barangsiapa mendahulukan qodho’ puasa, setelah itu ia melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho’, maka itu lebih baik. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah mendahulukan puasa Syawal dari qodho’ puasa, ia tidak memperoleh keutamaan puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa Ramadhannya dilakukan sempurna.”[8]
Sebelumnya Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, “Bagi ulama yang menyatakan bolehnya mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa, maka jika ia mendahulukan puasa sunnah Syawal, ia tidak memperoleh keutamaannya (pahala puasa setahun penuh). Yang bisa mendapatkannya adalah orang yang lebih dulu menyempurnakan puasa Ramadhan lalu melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.”[9]
Kesimpulan, menurut pendapat yang lebih kuat –sebagaimana dijelaskan di atas-, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho’ puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho’ puasa daripada puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Kasus Wanita Haidh
Bagaimana kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan qodho’ puasa.
Ada penjelasan yang amat bagus dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, beliau menjelaskan, “Tidak disyari’atkan mengqodho’ puasa Syawal setelah Syawal[10] baik meninggalkannya karena udzur maupun tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudha terluput. Kami katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum sempurna enam hari karena ada alasan syar’i, ‘Ketahuilah bahwa puasa Syawal adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa syawal empat hari yang telah engkau kerjakan. Dan diharapkan engkau akan memperoleh pahala yang sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً
Jika seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia mukim (tidak bepergian) dan sehat.” (HR. Bukhari dalam kitab shahihnya). Jadi, engkau tidak memiliki kewajiban qodho’ sama sekali (setelah Syawal).”[11]
Dari penjelasan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berarti seorang wanita yang masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal. Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan qodho’ puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal yang luput dari dirinya. Jadi tetaplah dahulukan qodho’ puasa, itulah yang lebih utama.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di saat kumandang adzan ‘Ashar, 3 Syawal 1431 H (12/09/2010) di Panggang, Gunung Kidul
(muslim.or.id)

Hukum Wanita Shalat di Masjid


Para ulama telah bersepakat bahwa shalat seorang laki-laki lebih utama dilakukan berjama’ah di masjid daripada di rumahnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa telah datang seorang laki-laki buta menemui Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah aku tidak memiliki penuntun yang akan membawaku ke masjid.’ Ia meminta agar Rasulullah saw memberikan rukhshah (keringanan) kepadanya untuk melakukan shalat di rumahnya lalu Nabi saw memberikan rukhshah kepadanya. Namun tatkala orang itu berlalu maka beliau saw memanggilnya dan bertanya kepadanya,’Apakah kamu mendengar suara adzan untuk shalat?’ orang itu berkata,’ya.’ Beliau bersabda,’kalau begitu kamu harus menyambutnya (ke masjid).” (HR. Muslim) –(baca : “Mendengar Adzan Ketika Sedang Sibuk”)
Adapun bagi seorang wanita maka kehadirannya di masjid untuk melakukan shalat berjama’ah diperbolehkan bagi mereka yang sudah tua dan dimakruhkan bagi yang masih muda karena dikhawatirkan adanya fitnah. Untuk itu yang lebih utama baginya adalah melakukan shalat di rumahnya, demikian menurut DR. Wahbah.
Beberapa pendapat para ulama tentang permasalahan ini adalah :
1. Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya mengatakan bahwa makruh bagi seorang wanita yang masih muda menghadiri shalat berjama’ah (di masjid) secara mutlak karena dikhawatirkan adanya fitnah. Abu Hanifah mengatakan bahwa tidak mengapa bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk shalat shubuh, maghrib dan isya karena nafsu syahwat bisa menimbulkan fitnah di waktu-waktu selain itu. Orang-orang fasiq tidur pada waktu shubuh dan isya kemudian mereka disibukan dengan makanan pada waktu maghrib. Sedangkan kedua orang sahabatnya membolehkan bagi seorang wanita yang sudah tua pergi ke masjid untuk melakukan semua shalat karena tidak ada fitnah didalamnya dikarenakan kecilnya keinginan (syahwat) seseorang terhadapnya.
Dan madzhab dikalangan para ulama belakangan adalah memakruhkan wanita menghadiri shalat jama’ah walaupun shalat jum’at secara mutlak meskipun ia seorang wanita tua pada malam hari dikarenakan sudah rusaknya zaman dan tampaknya berbagai kefasikan.
2. Para ulama Maliki mengatakan bahwa dibolehkan bagi seorang wanita dengan penuh kesucian dan tidak memikat kaum laki-laki untuk pergi ke masjid melakukan shalat berjama’ah, id, jenazah, istisqo (shalat meminta hujan), kusuf (shalat gerhana) sebagaimana dibolehkan bagi seorang wanita muda yang tidak menimbulkan fitnah pergi ke masjid (shalat berjama’ah) atau shalat jenazah kerabatnya. Adapun apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah maka tidak diperbolehkan baginya untuk pergi ke masjid secara mutlak.
3. Para ulama Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa makruh bagi para wanita yang cantik atau memiliki daya tarik baik ia adalah seorang wanita muda atau tua untuk pergi ke masjid shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki karena hal itu merupakan sumber fitnah dan hendaklah ia shalat di rumahnya. Dan dibolehkan bagi para wanita yang tidak menarik untuk pergi ke masjid jika ia tidak mengenakan wangi-wangian dan atas izin suaminya meskipun sesungguhnya rumahnya lebih baik baginya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau melarang para wanita itu pergi ke masjid meskipun rumah mereka lebih baik bagi mereka.” Didalam lafazh lainnya disebutkan,”Apabila para wanita kalian meminta izin kepada kalian pada waktu malam hari untuk ke masjid maka izinkanlah mereka.” (HR. Jama’ah kecuali Ibnu Majah) yaitu jika aman dari kerusakan (fitnah). Juga sabdanya saw,”Janganlah kamu melarang para wanita pergi ke masjid, hendaklah mereka keluar tanpa memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad, Abu daud dari Abu Hurairoh) dan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah didalam rumahnya.” (HR. Ahmad)
Intinya adalah bahwa tidak dibolehkan bagi seorang wanita cantik (menarik) untuk pergi ke masjid dan dibolehkan bagi wanita yang sudah tua. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1172 – 1173)
Wallahu A’lam
http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-perempuan-shalat-di-masjid-atau-musholla.htm

Shalat Subuh, Ujian Terberat

Shalat Subuh, Ujian Terberat

 Inilah ujian yang sesungguhnya. Ujian yang sangat sulit, namun bukan satu hal yang mustahil. Nilai tertinggi dalam ujian ini bagi seorang laki-laki adalah salat Subuh secara rutin berjamaah di masjid. Sedangkan bagi wanita, salat Subuh tepat pada waktunya di rumah. Setiap orang dianggap gagal dalam ujian penting ini, manakala mereka salat tidak tepat waktu, sesuai yang telah ditetapkan Allah swt
Sikap manusia dalam menunaikan salat wajib cukup beragam. Ada yang mengerjakan sebagian salatnya di masjid, namun meninggalkan sebagian yang lain. Ada pula yang melaksanakan salat sebelum habis waktunya, namun dikerjakan di rumah. Dan, Ada pula sebagian orang yang mengerjakan salat ketika hampir habis Batas waktunya (dengan tergesa-gesa). Yang terbaik di antara mereka adalah yang mengerjakan salat wajib secara berjamaah di mushala/masjid pada awal waktu.

Rasulullah saw. Telah membuat klasifikasi yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk membedakan antara orang mukmin dengan orang munafik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., IA berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda: ” Sesungguhnya salat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat Isya’ Dan salat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Apabila Rasulullah saw. meragukan keimanan seseorang, beliau akan menelitinya pada saat salat Subuh. Apabila beliau tidak mendapati orang tadi salat Subuh (di masjid), maka benarlah apa yang beliau ragukan dalam hati.
Di balik pelaksanaan dua rakaat di ambang fajar ini, tersimpan rahasia yang menakjubkan. Banyak permasalahan yang bila dirunut, bersumber dari pelaksanaan salat Subuh yang disepelekan. Itulah sebabnya, para sahabat Rasulullah saw. sekuat tenaga agar tidak kehilangan waktu emas itu.
Pernah suatu hari, mereka terlambat salat Subuh dalam penaklulkan benteng Tastar. ‘Kejadian’ ini membuat seorang sahabat, Anas bin Malik selalu menangis bila mengingatnya. Yang menarik, ternyata Subuh juga menjadi waktu peralihan dari era jahiliyah menuju era tauhid. Kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum pendurhaka lainnya, dilibas azab Allah swt. pada waktu Subuh.
Seorang penguasa Yahudi pernah menyatakan bahwa mereka tidak takut dengan orang Islam, kecuali pada satu hal, yaitu bila jumlah jamaah salat Subuh mencapai jumlah jamaah salat Jumat. Memang, tanpa salat Subuh, umat Islam tidak lagi berwibawa. Tak selayaknya kaum muslimin mengharapkan kemuliaan, kehormatan, dan kejayaan, bila mereka tidak memperhatikan salat ini.
Bagaimana orang-orang muslim tidur di waktu Subuh, lalu dia berdoa pada waktu Dhuha atau waktu Zhuhur atau waktu sore hari (Ashar), memohon kemenangan, keteguhan dan kejayaan di muka bumi. Bagaimana mungkin?
Sesungguhnya agama ini tidak akan mendapatkan kemenangan, kecuali telah terpenuhi semua syarat-syaratnya. Yaitu dengan melaksanakan ibadah, konsekuen dengan akidah, berakhlak mulia, mengikuti ajaran-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, dan tidak sedikit pun meninggalkannya, baik yang sepele apalagi yang sangat penting.
Subhanallah! Allah swt. akan mengubah apa yang terjadi di muka bumi ini dari kegelapan menjadi keadilan, dari kerusakan menuju kebaikan. Semua itu terjadi pada waktu yang mulia, ialah waktu Subuh. Berhati-hatilah, jangan sampai tertidur pada saat yang mulia ini. Allah swt akan memberikan jaminan kepada orang yang menjaga salat Subuhnya, yaitu terbebas dari siksa neraka jahanam. Diriwayatkan dari Ammarah bin Ruwainah r.a., ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk neraka, orang yang salat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam matahari.” (HR. Muslim).
Salat Subuh merupakan hadiah dari Allah swt., tidak diberikan, kecuali kepada orang-orang yang taat lagi bertaubat. Hati yang diisi dengan cinta kemaksiatan, bagaimana mungkin akan bangun untuk salat Subuh? Hati yang tertutup dosa, bagaimana mungkin akan terpengaruh oleh hadist-hadist yang berbicara tentang keutamaan salat Subuh?
Orang munafik tidak mengetahui kebaikan yang terkandung dalam salat Subuh berjamaah di masjid. Sekiranya mereka mengetahui kebaikan yang ada di dalamnya, niscaya mereka akan pergi ke masjid, bagaimanapun kondisinya, seperti sabda Rasulullah saw.: ” Maka mereka akan mendatanginya, sekalipun dengan merangkak.”
Coba kita bayangkan ketika ada seorang laki-laki yang tidak mampu berjalan, tidak ada orang yang membantu memapahnya. Dalam kondisi yang sedemikian rupa, ia bersikeras mendatangi masjid dengan merangkak dan merayap di atas tanah untuk mendapatkan kebaikan yang terkandung dalam salat Subuh berjamaah Sekiranya kita saksikan ada orang yang meninggalkan salat Subuh berjamaah di masjid (dengan sengaja), maka kita akan mengetahui betapa besar musibah yang telah menimpanya.
Tentu saja, tulisan ini bukan untuk menuduh orang-orang yang tidak menegakkan salat Subuh di masjid dengan sebutan munafik. Allah swt Maha Tahu akan kondisi setiap muslim. Namun, sebaiknya hal ini dapat dijadikan sebagai bahan koreksi bagi setiap individu (kita), orang-orang yang kita cintai, anak-anak, serta sahabat-sahabat kita. Sudahkah kita salat Subuh berjamaah di masjid/musalla secara istiqomah?
Jika seseorang meninggalkan salat Subuh dengan sengaja, maka kesengajaan tersebut adalah bukti nyata dari sifat kemunafikan. Barang siapa yang pada dirinya terdapat sifat ini, maka segeralah bermuhasabah (intropeksi diri) dan bertaubat. Mengapa? Karena dikhawatirkan akhir hayat yang buruk (su’ul khatimah) akan menimpanya. Nauzubillah minzalik!
Dari Buku Misteri Shalat Subuh karya Dr. Raghib As-Sinjani 
http://bud1nugroho.wordpress.com/2007/05/29/shalat-subuh-ujian-terberat/